DYSTOPIA (part 1)

Ann/Hana
8 min readDec 29, 2023

--

Atmosfer selepas hujan.

Bukankah sangat magnetik?

Dan bukankah ini sedikit aneh? Bagaimana sesuatu yang kelabu dan basah, bisa membawa keheningan dalam pikiran, dihiasi oleh warna-warni panjangnya kenangan lama.

Manusia berlalu-lalang dengan cepat. Menapaki jalan seolah tidak ingin menikmati rintik sendu yang jatuh lembut, membuat hari kian teduh.

Bukankah kopi, hujan, dan buku adalah candu? Barangkali tidak untuk semua orang, namun daya pikat itu berlaku pada gadis berambut hitam pekat, yang saat ini sedang berada dalam sebuah restoran, menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia temui.

Mind if I join, madam?” Sapa seorang pria, yang tidak ia sadari keberadaannya sebelumnya.

Ah, pleasure.” Gadis bermanik biru itu tersenyum.

Pria itu meletakkan minumnya, menggeser kursi yang ada di hadapan gadis itu, dan duduk.

“Kau suka suasana di luar sana?” Tanya pria itu.

“Suka. Aku suasana teduh, basah, dan sendu.” Jawabnya.

“Lantas, mengapa tidak keluar?” Pria itu menyeruput minumannya.

“Aku suka menikmatinya dalam keadaan kering dan kondusif. Jadi aku bisa menghayati suasananya.” Jawab gadis itu. Ia tersenyum dan maniknya menikmati pemandangan dari jendela yang ada di sisi kanannya.

Lelaki itu terpaku dengan keindahan yang ada di depan matanya. Seketika pikirannya berhenti, tubuhnya seakan beristirahat. Hanya matanya yang tidak berhenti bekerja,

Surai hitam panjang yang tergerai, mata biru, kulit bersih tidak putih seperti kebanyakan wanita di sekitarnya, namun gadis ini sangat elegan. Gadis ini, menawan dengan cara yang berbeda.

Lelaki itu masih diam terpana, membawa pemandangan indah ini, untuk direkam kepalanya, disimpan dalam hatinya.

Senyum tipis dari bibirnya juga lolos begitu saja tanpa aba-aba.

“Zoro.” Katanya memperkenalkan diri.

“Robin.” Akhirnya wanita ini melihat ke arah laki-laki bersurai hijau itu.

Senyumnya dan secangkir coklat hangat yang sedang digenggam kedua tangannya, membuat perasaan Zoro begitu sulit dan… tenang.

Sulit diartikan, dan tenang, karena senyum wanita itu sangat… hangat.

“Rambutmu asli? Atau hanya rambut palsu biasa yang selama ini banyak aku temui?” Tanya Robin. Matanya terpaku pada surai hijau milik pria yang ada di hadapannya.

“Aku lahir seperti ini.” Balas Zoro.

Percakapan mereka begitu hangat. Senyum, tawa, saling merasa aman tanpa ancaman. Seperti menemukan rumah perapian di musim dingin Eropa.

Larut, seakan menemukan seseorang yang bisa dipercaya untuk berbicara banyak hal. Lalai, waktu seakan tidak berputar.

Obrolan mereka panjang, suasananya cukup teduh dan lembut. Rasanya seperti baru seseduh, padahal ini sudah larut. Setelah ditegur oleh pelayan restoran, barulah mereka sadar ini sudah pukul sepuluh.

Ah, baru saja ini terasa menyenangkan, tapi sudah harus berpisah.

“Bagaimana caranya menemuimu lagi?” Tanya lelaki bersurai hijau itu.

“Ah? Tidak ada yang dapat menjamin ‘nanti’ akan datang.” Jawab gadis itu. Entah kenapa, saat mengatakannya, ia tidak terasa seperti Robin hangat yang baru saja berbicara dengannya. Tapi, Zoro bersikeras ingin bertemu lagi dengannya.

“Masalah itu, kita serahkan pada waktu. Yang jelas aku ingin menemuimu lagi, dan pasti, harus membuat rencananya saat ini. Sisanya aku serahkan pada takdir.” Kata Zoro. Ia pandai memikirkan kata dalam waktu singkat.

Luluh.

“Baiklah. Aku akan berada di sini sekitar menjelang siang, esok.” Kata Robin.

“Kalau begitu, aku akan menunggumu dari pagi, walau tempat ini belum buka.” Kata Zoro. Sontak itu membuat Robin tertawa.

“Kau gila.” Masih dengan tawa-senyum teduhnya.

“Apa pun, asal aku bisa melihat senyum itu setiap hari, aku tidak keberatan.” Bahkan Robin bisa merasakan kejujuran dalam perkataannya. Mungkin segalanya indah di awal. Tapi setidaknya, di awal, segalanya juga jujur.

“Baiklah. Aku pulang. Kau juga hati-hati.” Dan begitu, malam itu, mereka berpisah.

Mereka melakukannya setiap hari, hingga pelayan restoran itu hafal wajah dan apa yang akan mereka pesan.

“Tuan itu sudah menunggu, Nona.” Kata pelayan sembari membuka pintu, mempersilakan Robin masuk.

“Minuman dan rotimu akan segera datang.” Pelayan itu tersenyum, membungkukkan sedikit kepalanya.

“Terima kasih. Sampai diingat olehmu, lucu juga.” Kata Robin tertawa sedikit.

Dan hari itu berakhir. Seperti hari-hari biasanya.

“Robin.” Panggil Zoro, sesaat sebelum Robin melangkah lebih jauh. Tentu saja, itu membuat langkah Robin terhenti, dan ia berbalik.

“Kau keberatan, jika kuantar pulang malam ini?” Tanya Zoro.

“Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja, sudah dua bulan kau pulang selarut ini, dan itu setelah bertemu denganku.” Dan Robin masih terdiam, memperhatikan, membiarkan Zoro menyelesaikan kata-katanya.

“Aku rasa, aku harus mengantarmu pulang. Seharusnya ini kulakukan sejak awal, tapi aku takut jika itu terdengar lancang, di pertemuan pertama kita.”

“Jika itu terjadi, aku tidak akan punya kesempatan sampai hari ini.” Ujar Zoro, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Setelah mendengar penuturan Zoro, Robin pun mengiyakan.

“Baiklah.” Katanya tersenyum.

Zoro pun menyatukan rima langkahnya dengan Robin. Berjalan santai, saling mengiringi di bawah langit malam.

“Kau tahu, kau selalu berhasil meruntuhkan dinding-dindingku.” Ucap Robin.

“Bagaimana aku harus mengartikannya?” Kata Zoro bingung.

“Artinya, aku terus menyetujui permintaanmu, ketika di sisi lain, aku biasanya selalu menolak.” Kata Robin.

“Oh? Jadi aku adalah orang yang sulit kau tolak?” Tanya Zoro menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum jahil.

“Ya… Begitulah.” Kata Robin.

“Jadi, apa artinya aku diizinkan untuk masuk lebih dalam?” Tanya Zoro. Sebenarnya ia agak ragu, namun ia menguatkan dirinya sesaat setelah mendengar tuturan Robin barusan.

“Artinya?” Tanya Robin. Langkah keduanya terhenti, setelah Zoro lebih dulu menghentikan langkahnya.

“Masuk… lebih…” Zoro terhenti.

“Aku ingin ada di bab-bab dalam hidupmu.” Kata Zoro akhirnya, menatap Robin lekat.

Robin yang ditatap pun tak bisa mengambil pandangannya. Hanya dengan mata, Zoro mengunci tatapan Robin.

Suasana begitu tenang. Perapian teras di setiap tempat dan rumah-rumah, menerangi malam dingin ini. Di sini, hanya mereka yang merasa hangat.

“Jadi, bagaimana?” Tanya Zoro memecah hangatnya hening.

How can I refuse? All this time, those shining starry eyes of yours really sparking up my darkest night, Zoro.” Robin, menggenggam tangan Zoro.

Zoro tersenyum cerah. Ia mungkin buta arah, namun masalah aksi, aksara dan angka, otaknya sepenuhnya terbuka.

Memikirkan manisnya malam ini, bisakah ia tertidur nanti?

Akhirnya Robin sampai di rumahnya. Setelahnya, Zoro pamit pulang. Sebenarnya jika boleh, ia ingin masuk dan menetap lebih lama. Namun, bisa sampai sejauh ini saja sudah cukup bagus.

Perlahan saja. Tidak perlu serakah.

“Sampai jumpa besok, Robin.” Zoro mengecup pelan punggung tangan Robin.

“Besok?” Tanya gadis bersurai gelap pekat itu.

“Di duniaku yang kemarin, ‘besok’ tidak pernah dijanjikan.” Ia mengambil tangannya dari genggaman pria itu.

Pria bersurai hijau itu menatap telapak tangannya yang saat ini kosong. Ini bukan pertama kalinya. Robin mengatakannya setiap hari berakhir, saat mereka harus berpisah. Dan setiap hari itu pula, Zoro selalu meyakinkannya.

Ini, membuat mereka terbiasa. Untuk sang ragu yang selalu berhasil diyakinkan. Untuk sang penunggu yang selalu mendapat kepastian.

Nor does nobody can guarantee about tomorrow, mi lady,” Kata pria itu, menatap sang gadis, “sekalipun mereka di tempat yang aman.” Lanjutnya.

“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi rencanaku masih sama,” katanya, terhenti sejenak. Tatapannya menembus netra, menuju jiwa sang gadis, “to have you, in my everyday.”

So, say it. Will you come tomorrow?” Pria itu mendekat kepada sang puan, membelai lembut wajahnya.

How if I won’t?” Tanya sang gadis. Mereka saling lamat dalam menatap, berbicara melalui jiwa.

So, there will be no tomorrow.” Suara rendahnya menembus hati sang gadis.

Then I will.” Kata si gadis, menggenggam tangan laki-laki yang sedang membelai wajahnya itu.

Zoro mendekatkan wajahnya, Robin menutup matanya. Dan, ranum mereka menyatu untuk pertama kalinya.

Zoro mungkin kesulitan menemukan rumahnya setelah ini. Tidak hanya itu, ia juga pasti akan kesulitan untuk tidur. Tapi harga untuk semua kesulitan yang akan ia dapati, sepadan. Ia tidak keberatan.

Banyak tempat yang sudah mereka kunjungi setelah hampir enam bulan bersama. Semua tempat Robin jelajah bersama Zoro, namun sampai hari ini, ia belum mengetahui rumah Zoro.

Setiap hari mereka bertemu di tempat biasa, dan pulang sudah gelap. Setiap hari, Zoro mengantar Robin, itu juga hanya sampai di depan. Sekalipun, Zoro belum pernah masuk.

Hari ini, tidak seperti biasanya, Robin meminta. Robin meminta untuk Zoro menemaninya membeli bunga.

“Untuk apa?” Tanya Zoro.

“Untuk beberapa hal yang berharga.” Jawab Robin santai. Zoro mengiyakan.

“Bagaimana jika aku ingin menemui orang tuamu?” Tanya Zoro. Ia sudah memiliki niat untuk ini dari beberapa waktu lalu. Ia hanya takut jika saat itu terlalu cepat. Namun hari ini, ia memutuskan untuk tidak terlambat.

“Kau yakin?” Tanya Robin.

“Rupanya aku terlihat ragu?” Zoro balik bertanya, menaikkan sebelah alisnya.

“Aku lupa, kau tidak pernah ragu, ya.” Robin membalasnya tersenyum.

Setiap senyum yang dilemparkan Robin untuknya, ia selalu sulit mengartikan. Itu senyum yang menyenangkan. Senyum yang indah. Senyum yang selalu ia nanti di pertemuan setiap hari mereka. Namun ada yang janggal. Entahlah, mungkin hanya perasaannya saja.

Robin mengambil 32 tangkai bunga Krisan putih, dan 6 tangkai bunga Freesia. Zoro yang saat itu melihat mawar merah, membeli beberapa tangkai untuk dibuketkan, dan juga…

“Sayang, kau tahu bunga untuk ungkapan terima kasih?” Kata Zoro sambil melihat-lihat bunga. Mungkin ia sedang menyembunyikan wajahnya yang sudah merah padam itu. Mungkin juga saat ini sedang salah tingkah.

Jelas saja itu membuat Robin terkejut. Sama dengan Zoro, Robin menolak untuk melihat Zoro. Ia hanya terkejut, terbelalak dengan melihat bunganya. Namun, senyum tentu tidak bisa ditahan. Walaupun matanya melihat bunga, jiwanya sudah melayang entah kemana.

“Biasanya yang berwarna kuning. Kau bisa mulai dengan bunga matahari, lili kuning atau tulip kuning.” Jawab Robin.

“Kalau begitu, Tulip kuning mungkin akan bagus.” Akhirnya Zoro memilih.

Ia minta beberapa tangkai untuk juga di buketkan.

“Untuk siapa?” Tanya Robin, sesaat setelah meninggalkan toko bunga.

“Yang mana?” Tanya Zoro. Karena saat ini ia sedang memegang dua buket bunga.

“Keduanya.” Jawab Robin.

“Untukmu, dan orang tuamu.” Jawab Zoro. “Aku ingin memberikan langsung padamu, tapi kau sedang dalam keadaan yang sama denganku. Jadi, nanti saja.” Lanjutnya tertawa sedikit.

Robin memang membawa lelaki tersayangnya, untuk diperkenalkan kepada ibu dan ayahnya. Tidak seperti yang Zoro bayangkan, ia tidak dibawa ke rumah oleh Robin. Bukan ke rumah orang hidup. Ini adalah…

Krematorium.

Tersusun rapi seluruh abu dari manusia-manusia tersayang milik seseorang di sini. Zoro tidak bertanya apa pun. Toh, sudah jelas mengapa.

“Ternyata calon orang tuaku sudah berada di tempat yang indah.” Kata Zoro, memecah keheningan sembari mereka terus berjalan.

“Ya. Walau dengan cara yang tragis, tapi aku percaya mereka saat ini sedang bersama, melihatku tersenyum.” Robin melempar senyumnya, lagi, untuk Zoro.

Akhirnya mereka berdiri di tempat yang mereka tuju. Robin meletakkan bunga yang sudah ia beli tadi, untuk empat ruangan kecil, tempat penyimpanan abu milik orang tua Robin.

Ia membagi, masing-masing boks abu ia letakkan 8 tangkai bunga krisan putih. Dan bunga Freesia, ia berikan kepada Zoro.

“Tapi, aku belum mati??”

Robin terbahak mendengar respon Zoro yang begitu terkejut seakan sedang disumpahi oleh Robin.

“Bunga Freesia memang tidak untuk orang mati, Zoro.” Jelas Robin masih tertawa. “Bunga ini memiliki arti kepercayaan. So, if I give these to you, it means I trust you. Are we clear?” tanya Robin, masih tidak bisa memendam tawanya.

“Ada 6 tangkai, apa itu juga ada artinya?” Tanya Zoro lagi. Wajar saja, seakan segalanya memiliki arti saat ini.

“Tidak. Aku hanya memikirkan 6, karena aku lahir pada tanggal 6.” Jawab Robin.

“Kalau begitu, itu berarti untukku.” Kata Zoro. Robin melihat ke arahnya seperti bertanya ‘kenapa?’

“Karena gadisku lahir. Apa yang lebih berarti daripada itu?” Zoro memberikan mawar merah yang ia beli tadi untuk Robin, karena saat ini kondisinya sudah lapang. Robin sudah tidak memegang apa pun.

Tentu, dengan senang hati Robin menerimanya. Untuk pertama kalinya ia memberikan bunga Freesia, dan untuk pertama kalinya, ia mau menerima mawar merah.

“Ngomong-ngomong, orang tuamu…?” Tanya Zoro bingung. Pasalnya, ada empat boks yang Robin ziarahi.

“Ceritanya panjang. Yang jelas, mereka berempat adalah orang tuaku.” Jelas Robin.

“Baiklah.” Kata Zoro. “Bagaimana pun tidak masalah.” Lanjutnya lagi.

“Yang mana, orang tua kandungmu? Aku akan memulainya dari sana.” Kata Zoro. Robin kemudian menunjuk dua boks, sebagai jawaban untuk Zoro.

Zoro membungkuk setengah untuk beberapa detik, sebagai tanda pemberian salam. Meletakkan Tulip kuning yang ia bagi untuk dua boks di mana abu milik orang tua Robin berada. Ia angkat kepalanya, dan terpaku.

.

.

.

— tbc.

♣︎ Ann/Hana

--

--

Ann/Hana
Ann/Hana

No responses yet