DYSTOPIA (part 2)

Ann/Hana
9 min readDec 29, 2023

--

Zoro membungkuk setengah untuk beberapa detik, sebagai tanda pemberian salam. Meletakkan Tulip kuning yang ia bagi untuk dua boks di mana abu milik orang tua Robin berada. Ia angkat kepalanya, dan terpaku.

S A G H A.

“Sagha?” Tanya Zoro. Ia menghadap Robin. Matanya kini memanas. Ia berharap pikirannya salah.

“Iya. Aku berasal dari sana.” Robin menatap guci berisikan abu milik orang tuanya.

“Kau tahu Sagha? Aku kira sudah tidak ada lagi yang mengingatnya. Sudah 15 tahun…” Kata Robin. Mata birunya berbinar, berpikir Zoro mengetahui kota Sagha.

Zoro tercekat, Dadanya sakit. Perasaannya berantakan.

Ia mundur. Satu langkah. Dua langkah.

“Zoro? Ada apa?” Tanya Robin panik. Tingkah Zoro berubah dalam sekejap. Zoro hanya menatap ke bawah, meremas kepalanya tidak percaya.

“Zoro?” Zoro yang namanya dipanggil berulang kali, sudah merasa ingin pergi dari tadi. Perasaannya berkecamuk hebat.

“Robin. Aku sungguh minta maaf, untuk segalanya. Tolong ampuni aku.” Kata Zoro menggenggam, mengecup tangan Robin.

“Dan percayalah. Aku sangat, sangat, mencintaimu.” Kata Zoro. Genggamannya tidak dilepas, seakan itu adalah yang terakhir.

Ia tidak berani menatap mata Robin. Hanya menunduk, yang bisa membuatnya bisa mengatakan itu semua. Matanya tidak bisa menahan lagi curahan kecamuk yang dari tadi bersemayam di dadanya.

Sagha.

Bukankah mereka sudah punah???

Dari semua manusia, kenapa harus Robin?!

Kenapa harus orang yang aku cintai?

Beginikah cara karma bekerja?!

Pikiran Zoro terus berkecamuk. Setelahnya, ia tidak mendatangi Robin untuk waktu yang cukup lama, bagi dua insan yang saling terubung akan perasaan.

Robin tidak tahu harus mencari tahu laki-laki itu ke mana. Sudah dua minggu lamanya ia tidak muncul. Tidak seperti biasanya, yang sudah menunggu di dalam restoran, atau di depan restoran itu.

“Tuan masih belum kemari lagi, Nona.” Kata pelayan yang sudah hafal tentang mereka. Bagaimana tidak,

Gadis itu pulang, dengan tatapan kosong, untuk hari ke sekian tanpa kabar dari pria bersurai hijau itu.

Malam itu, segelas coklat hangat, perapian kecil sederhana untuk menerangi ruangan tempat di mana ia berada. Biasanya membaca adalah hobi, kini hal itu ia gunakan sebagai distraksi. Terkadang ia juga menulis, mengikuti ibunya.

Di mana pun, semoga kau baik-baik saja, Zoro.

Sudah separuh buku, lalu ia harus berhenti karena ada seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ketika ia buka pintunya…

“Zoro!” Robin terbelalak mendapati siapa di depan rumahnya, selarut ini. Sudah selama ini, dan akhirnya ia muncul.

Ia sentuh wajah prianya. “Kau kemana saja?” Robin menatapnya, menyadari bahwa Zoro sedang dalam keadaan kacau, dan, memeluknya.

“Masuk, Zo-” Belum selesai, dan Zoro memotongnya.

“Robin.” Ia menunduk. Sejak melihat Robin, air matanya jatuh tanpa permisi.

“Aku akan perkenalkan diriku secara benar kali ini. Aku sudah siap, dengan segala kemungkinan dan keputusanmu.” Kata Zoro menghela nafas kasar dan berat.

“Roronoa…” Tercekat. “Roronoa Zoro.”

Robin mematung, tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.

“Hey. Zoro.” Robin mencoba menyentuhnya.

“Kau baik? Ada apa denganmu? Apa yang terjadi?” Tanya Robin, khawatir.

“Aku. Roronoa. Zoro.” Berat. Berat sekali rasanya.

“Ini tidak lucu, Zoro.” Senyumnya pahit. “Setelah hilang dua minggu, akhirnya aku bisa melihatmu, dan kau memberiku lelucon yang menyebalkan?” Lanjut Robin.

Zoro menatap kosong, sebelum mengangkat kepalanya. Mata basahnya menatap Robin lekat. Lekat sekali.

“Bohong.” Maniknya menatap lekat milik Zoro. Berharap pria itu mengatakan sesuatu yang ia harapkan. Namun, hanya diam Zoro yang ia dapat.

Hatinya menjerit.

Pun hati Zoro.

Why does it have to be you?” Air matanya mengalir tanpa izin. Dadanya sesak setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

“KENAPA HARUS KAU, ZORO??!” Gadis itu mencengkram baju lelakinya, memukul dada Zoro berkali-kali. Lelaki itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menunduk dan…. menangis.

I’m sorry, Robin. Maaf. Hanya itu yang bisa aku katakan. Kau boleh lakukan apa pun. Aku akan menerimanya. Aku pantas mendapatkannya.” Kata Zoro menunduk, terisak, dan pasrah. Dadanya sakit. Ini seperti sebuah karma.

Mereka sama-sama merasa sesak, dada hingga jiwa mereka terasa retak. Akhirnya, mereka mengetahui latar belakang satu sama lain, yang ternyata, ini adalah fakta berat, sangat menyakitkan.

Robin mengetahui prianya seorang Roronoa, dan Zoro mengetahui gadis yang sangat ia cintai, berasal dari Kota Sagha.

Sebuah kota damai penuh karya, catatan, dan peninggalan sejarah, yang dibumihanguskan. Dan itu, dipimpin oleh keluarganya.

Roronoa.

15 tahun lalu, usianya masih 9 tahun. Robin hidup di kota Sagha dengan tenang dan damai di dalam sebuah rumah lantai satu sederhana, dengan orang tua yang harmonis. Mereka tidak terlalu bergelimang harta, namun kebutuhan primer dan sekunder selalu tercukupi.

Rumah sederhana bergaya Eropa klasik, dengan corong asap untuk perapian di setiap musim dingin.

Orang-orang di kota Sagha banyak yang fokus di bidang seni, dan banyak seniman terkemuka di seluruh dunia dari kota Sagha. Penyair, penyanyi, pemusik, penari, pengukir, pelukis, pemahat, penulis, dan masih banyak lagi. Sagha dan seluruh isinya, adalah segala warna-warni dunia.

Í gegnum listina (through the art), merupakan filosofi hidup masyarakat kota Sagha. Banyak yang tidak tersampaikan lewat kata dan frasa, maka tumpahkan dalam rasa. Seni tidak hanya tentang air dan warna, namun juga sirat akan makna, bukankah begitu?

Nico Olvia, merupakan seorang penulis. Aokiji Kuzan adalah seorang pemusik. Ia merupakan pemimpin orkestra resmi kerajaan. Keduanya merupakan orang tua Nico Robin. Dan orang Sagha menganut sistem matrilineal.

Robin memiliki nama depan, rambut lurus dan wajah indah ibunya, namun ia memiliki warna rambut ayahnya. Ibunya berambut pirang. Hanya itu yang tidak Olvia wariskan kepada Robin.

“Robin! Habiskan roti dan susumu, lalu bersiap. Sebentar lagi kita akan pergi bersama Dada (ayah) ke istana.” Kata Olvia.

“Oh? Dada akan tampil?” Tanya Robin kecil.

“Ya. Kita akan lihat Dada-mu yang hebat!” Olvia tersenyum, mengacak lembut rambut anak gadisnya.

“Baik! Pilihkan pakaian untukku, Ma. Aku ingin cantik di acara Dada.” Kata Robin.

Olvia memakai gaun floral separuh betis berwarna putih gading, dengan topi besar khas musim panas, ditambah dengan tas anyam kasual, membuat Olvia terlihat anggun dalam balutan setelan sederhana. Pun anak gadis tersayangnya, memakai baju yang sewarna dengannya. Robin bak Olvia travel size.

Keadaan kota ini begitu nyaman. Siapa pun yang datang tidak ingin pulang.

Dada! Dada mengagumkan seperti biasanya!” Kata Robin memuji ayahnya.

“Benarkah?” Kuzan mengangkat Robin ke dekapannya, tidak membiarkan anak tunggalnya berjalan kaki.

“Ya. Aku melihat semua orang tidak berkutik. Mereka seperti hanyut dalam orkestra yang Dada pimpin.” Kata Robin.

“Kau banyak mengikuti Mama rupanya, ya! Kau suka buku?” Tanya Kuzan.

“Suka. Setiap Mama selesai menulis, aku akan minta dibacakan. Dan Mama menulis dengan indah. Jadi aku percaya ada keindahan dalam setiap kata.” Jawab Robin ceria.

Kuzan dan Olvia hanya tersenyum. Rasanya anak ini kemarin masih bayi, sekarang malah sudah bisa matang berpikir. Siapa yang sangka, hari-hari baik itu akan berakhir dalam waktu dekat.

15 April 1555. The city of daydream, turned into nightmare.

Pasukan pemberontak yang entah apa motifnya, menyerang secara brutal segala yang mereka lihat. Pasukan berkuda itu menebas siapa saja yang tampak oleh mata mereka.

Mereka memanah, berpedang, berkuda, menuju cepat ke istana. Setelah huru-hara yang terjadi, setelah beberapa lama, mereka keluar membawa kepala Raja. Kepala yang sudah tidak bersatu dengan tubuh itu, di arak keliling kota.

“RAJA KALIAN YANG LEMAH DAN BODOH ITU TELAH MATI! MULAI SEKARANG, KOTA INI DAN KALIAN SEMUA HANYA TUNDUK KEPADAKU!” Kata pimpinan pasukan itu.

Semuanya merasa ketakutan. Baru saja mereka melihat orang-orang tergeletak sembarang, bersimbah darah dengan luka tebasan dalam yang parah. Ditambah saat ini negeri mereka terjarah, diklaim paksa oleh sang antah-berantah.

Tentunya pasukan keamanan negeri tidak tinggal diam. Terjadi pertempuran hebat antara pasukan berkuda negeri, dengan pasukan musuh. Pertarungan ini berlangsung berbulan-bulan, hingga pasukan Kerajaan berhasil dikalahkan.

Kekalahan disebabkan adanya penghianat dari pasukan Kerajaan, yang menjadi mata-mata untuk pasukan musuh. Ia dijanjikan jabatan yang cukup menggiurkan, kehidupan kalangan elit yang bergelimang dan aman seumur hidup, bahkan untuk generasinya mendatang.

Setelah kekalahan telak pasukan Kerajaan, mereka secara terang-terangan tidak hanya menjarah tempat, mengakuisisi negara, namun juga memerintahkan penduduk kota untuk mengubah gaya hidup dan adat yang sudah melekat pada mereka.

Penduduk setempat menolak! The city of art, where the artist belongs, akan diubah entah jadi apa.

Karenanya, pasukan sialan membabi-buta menyerang rumah warga. Mengusir penduduk asli dari tanahnya, mencoba mengubah cerita, sejarah dan adat yang sudah hampir seratus tahun menjadi identitas kota itu. Kota Sagha.

Mimpi buruk ini terjadi di seluruh kota, di setiap rumah-rumah hangat penuh cinta. Kota surga itu menjadi neraka dalam sekejap.

Tidak tahu apa yang terjadi di rumah-rumah lain, mungkin sama parahnya dengan yang dialami Robin. Atau mungkin lebih parah? Yang jelas, apa yang dihadapi Robin adalah neraka terburuk seumur hidupnya.

Ia melihat ayahnya dibunuh tepat di depan matanya, sedang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terbaring, dilecehkan oleh prajurit mereka. Ibunya? Di pintu masuk utama, di ruang keluarga, tergeletak, sudah bersimbah darah.

“Jika sudah selesai dengan urusan kalian, diminta menghadap Tuan Roronoa di istana.” Kata orang itu, menatap dingin jasad Dada dan Mama Robin, meninggalkan Robin yang sedang dilecehkan.

Roronoa.

Nama yang tidak akan ia lupakan.

Nama penuh darah dan menjijikkan.

Para manusia yang selamat dari tragedi berdarah itu akhirnya pergi, meninggalkan Sagha yang sangat mereka cintai. Populasi saat itu mungkin sekitar 5000 jiwa, dan yang bertahan tidak lebih dari 25.

Mereka diselamatkan oleh negeri tetangga, memiliki identitas baru, dan hidup dalam luka yang tidak terlupakan.

Robin saat itu tidak bisa memiliki identitas sendiri, karena usia. Ia juga harus memiliki seseorang untuk mengurusnya.

“Adakah orang tua gadis ini?” tanya petugas evakuasi. Semua terdiam. Sesaat ketika Robin hendak memberitahukan keadaannya, muncul suara seorang perempuan usia 30an.

“Aku ibunya.” Kata wanita itu datar, membuka tudung kepalanya.

“Robin.” Ia memanggil Robin, mengisyaratkan agar gadis kecil itu menuju ke arahnya.

Robin berlari ke arahnya, menangis hebat. Wanita itu merendah, mendekap Robin kuat, mengusap-usap punggung Robin untuk menguatkannya.

“Kau bisa ceritakan segalanya nanti.” Kata wanita itu lembut kepada Robin yang masih terisak sesak.

Setelah itu, mereka diarahkan ke gereja terdekat. Untuk sementara waktu mereka akan berada di situ hingga tempat yang lebih layak bisa mereka dapat.

“Biadab!” Umpat wanita itu, ikut menangis bersama Robin setelah mendengar apa yang terjadi hari itu kepada sahabatnya, dan kepada Robin. Ia dekap Robin yang masih sangat trauma. Hingga Robin berhenti menangis.

“Apa yang mereka lakukan padamu, Neni (tante) Terra?” tanya Robin dengan suara paraunya.

“Tidak jauh berbeda denganmu. Hanya saja Zacis (paman)-mu berhasil menyelamatkanku, dan, ia terbunuh di sana.” Tangis wanita itu sekali lagi lolos dengan lancar.

Kehidupan setelahnya berjalan seperti itu, di tempat yang lebih layak, hingga Robin berusia 17. Dan, untuk sekali lagi, Robin harus kehilangan, tanpa ia bisa melakukan apa pun.

“Robin. Kau harus sembunyi. Mereka tidak boleh tahu kau berasal dari Sagha. Jaga asal-usulmu!” Kata Terra tergesa-gesa, menarik Robin menuju ruang bawah tanah.

“Tapi… Neni… Aku tidak ingin selamat sendirian. Aku tidak bisa jika harus kehilanganmu juga.” Kata Robin terisak. Entah sudah berapa kali, rasanya tidak habis-habis kesedihan ini.

“Robin.” Kata Terra, berhenti, menatap mata biru Robin. Ia harap, Robin mengerti keputusan yang akan diambilnya.

“Jika aku gagal menyelamatkanmu, aku tidak akan bisa menghadapi Mama, Dada dan Zacismu di sana.” Terra menatap dan mengusap kepala Robin lembut.

“Kau putri Olvia, dan sampai kapan pun, kau adalah putriku. Kau punya dua cinta ayah, dan dua cinta ibu. Dekap itu erat di hatimu. Jangan pernah lupakan cinta yang pernah kau dapat.” Kata Terra membelai pipi Robin.

“Dan teruslah hidup, Robin. Kau putri kami. Aku tahu kau kuat, lebih dari siapa pun.” Didekapnya Robin yang sudah sangat terisak. Robin pun membalas dekapannya. Lalu perlahan, Terra melepas, dan ditinggalkannya Robin di sana.

Mereka datang. Suaranya keras dan kasar. Robin hanya bisa menangis di rubanah, menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Rasanya sangat tercekik.

“Kami tahu kau tinggal bersama seseorang di sini, jalang. Di mana dia?” Tanya prajurit itu.

“Tidak ada siapa-siapa di sini selain aku, brengsek! Kau sudah bunuh semua keluargaku, apa lagi yang tinggal selain aku?!” Jawab Terra, tidak kalah kasar.

Prajurit itu melihat Terra dari atas hingga bawah, berulang kali.

“Wanita ini sudah tua.” Kata prajurit itu.

Tapi, itu hanya penampilan Terra yang terlihat lebih tua dari usianya. Ia sungguh, masih cantik untuk wanita seusianya. Dan Terra sudah bersiap dari saat ia mendengar kegaduhan beberapa saat lalu, untuk berpenampilan tua dan lusuh.

Lebih baik mati, dari pada dilecehkan para bedebah ini.

Klan Roronoa seakan tidak pernah puas dengan jarahan yang mereka lakukan, saat ini, keturunan dan orang-orang Sagha juga menjadi incaran mereka. Mereka ingin “membersihkan” Sagha secara menyeluruh. Entah apa kepentingannya.

Kota itu bahkan sudah diganti namanya. Hanya orang-orang mati yang boleh mengenakan asal “Sagha”, sebagai tanda kemenangan Roronoa atas negeri itu.

“Pergi dari sini, bedebah! Kau dan keluarga busukmu, aku tidak ingin bersentuhan dengan kalian.” Isak Robin.

Dunianya seakan hancur. Pada akhirnya ia berhasil diyakinkan, namun dengan orang yang tidak ia harapkan.

Sama halnya dengan Zoro, yang hancurnya sudah dari kapan tahu.

“Robin…” Zoro tercekat.

Robin membanting pintunya. Menangis dengan keras dari dalam sana. Dan Zoro, menangis bersama Robin, di luar sini.

Robin tertidur di balik pintu dalam, Zoro memutuskan untuk tidak meninggalkan rumah tempat di mana Robin berada. Mereka bersama menangisi takdir elegi ini.

.

.

.

— tbc.

♣︎ Ann/Hana

--

--

Ann/Hana
Ann/Hana

No responses yet